Selamat datang Kosoredjoers! Terima kasih karena sudah mampir di blog-nya Trah Kosoredjo. Kritik, saran, masukan, dan komentar dari Kosoredjoers sangat kami butuh kan. Ciaoo!
RSS

Kamis, 18 Agustus 2011

Mengenang Pahlawan Bangsa

Semarang, kota favorit keluarga Kosoredjo, dalam masa revolusi sejak diproklamirkannya kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak sedikit andilnya dalam sejarah kemerdekaan RI.

Teringat peristiwa Pertempuran 5 Hari di kota Semarang yang meletus pada tanggal 15 Oktober 1945, merupakan peristiwa bersejarah yang tak terlupakan dalam rangkaian upaya mempertahankan kemerdekaan tersebut, antara lain bekas penjajah Jepang yang masih ingin menguasai Indonesia.

Pemuda pelajar setingkat SLTP/SLTA di kota Semarang menggabungkan diri dengan Barisan Keamanan Rakjat (BKR), diantaranya Paman/Eyang kita, putra ke-8 Eyang Padmoredjo generasi ke-3 Trah Kosoredjo, yang bernama Gesang Hercules Soejitno Padmoredjo (akrab dipanggil Pak Jit), yang pada waktu itu masih berusia 18 tahun sebagai pelajar Sekolah Menengah Tinggi (SMT) di Jl. Bojong, sekarang SMU Negeri 3 di Jl. Pemuda, Semarang.
Pada saat itu Pak Jit (baca: Yit) panggilan akrab, bersama teman-teman sekolahnya, mendapat tugas piket di sekolah yang dijadikan markas mereka. 3 hari 3 malam tidak pulang, keluarga di rumah terutama Eyang putri Padmoredjo merasa cemas, apalagi melihat kesibukan di lingkungan bahwa bapak-bapak, kaum laki-laki pada berjaga-jaga bersenjatakan granggang atau lebih dikenal dengan bambu runcing selalu waspada. Keluarga Padmoredjo pada waktu itu tinggal di Wonosari, kawasan Kalisari Semarang (sekarang Jl. Dr.Kariadi). Memang suasana yang mencekam seperti itu mengharuskan kaum laki-laki yang ada di rumah dan lingkungan untuk selalu siaga menjaga daerahnya masing-masing. Penulis pada waktu itu masih berusia kira-kira 6 tahun, sudah merasakan suasana ketegangan dalam keluarga.

Rupa-rupanya, cara serdadu Nippon yang licik membuat suasana sedemikian rupa untuk memancing kaum laki-laki yang ada agar keluar dari rumah, dengan berteriak-teriak : “Merdeka!! Merdeka!! Merdeka!!”. Kaum pria, termasuk Eyang Rekso, tidak mudah terpancing, walau semula tergerak ingin tahu dan ingin menghampiri mereka, karena dengan mengamati suara mereka yang agak aneh, yaitu lirih dan dengan logat Jepang yang khas. Apabila kaum laki-laki yang ada di dalam rumah pada keluar dan menyambut mereka, pasti akan dihabisi. Konon memang benar, setibanya tentara Jepang di simpang lima Wilhelmia Plein (sekarang Tugu  Muda), terjadilah kontak senjata dengan pasukan BKR yang terdiri dari Pemuda Pelajar dan Pasukan Polisi Istimewa  bekas Polisi Belanda yang dikenal dengan Marechausse (Marsose) dan sekarang telah melebur menjadi Pasukan Brigade Mobil Polisi RI (Brimob), yang pada waktu itu bermarkas di Jl. Pieter Sijthoflaan (sekarang Jl. Pandanaran no.100w), satu kompleks dengan mantan Panti Asuhan Kristen Eunike, dimana pada tahun 1998 Panti Asuhan tersebut dipindahkan ke Puri Anjasmoro, hasil tukar guling dimana tempat tersebut kini menjadi pusat pertokoan.

Esok harinya, Pak Jit pulang pagi-pagi setelah melaksanakan tugas piket di markas Pemuda, karena kecapekan lalu tidur. Seluruh keluarga gembira bahwa Pak Jit selamat dari pengejaran tentara Jepang.
Tersiar kabar bahwa Jepang akan membunuh penduduk Semarang dengan cara meracuni air minum/leiding yang dicatu ke seluruh kota dari reservoir Siranda. Dr.Kariadi, seorang dokter muda patriotik dari CBZ (Centrale Bergerlijke Ziekeninrichting) pada masa RI menjadi Pusat Rumah Sakit Rakjat (Purusara) dan kini menjadi RSUP Dr.Kariadi di Jl. Kalisari (sekarang Jl. Dr.Sutomo), keluar dari kompleks rumah sakit menuju tempat kontrol kraan yang berada di depan Gereja Kalisari, untuk memeriksa air leiding, karena tergerak jiwa sosialnya mengantisipasi air minum yang juga mencatu ke CBZ. 

Dr.Kariadi ternyata dibuntuti oleh serdadu Jepang dan langsung ditembak sehingga gugur. Untuk mengenang jasa pahlawan Dr.Kariadi, maka kini RSUP Semarang diberi nama RSUP Dr.Kariadi. Pada hari itu ternyata Jepang sedang mengadakan pembersihan ke kampung-kampung. Pemuda-pemuda yang dicurigai dikumpulkan di lapangan Kalisari (sekarang lapangan Olah Raga Kodam Diponegoro) dan kemudian dibantai.

Begitu kejamnya perilaku tentara Nippon yang sebenarnya mereka sudah kalah perang, namun menjadi kalap dengan membalas dendam kepada rakyat Indonesia. Empat orang serdadu Jepang secara tiba-tiba memasuki lingkungan dimana kami tinggal. Rumah kami digeledah dan memasuki kamar Pak Jit yang sedang pulas tidur karena kecapekan. Serta merta Pak Jit dibangunkan dan dibawanya keluar rumah. Di Wonosari lingkungan kami tinggal, Jepang menemukan 3 orang pemuda termasuk Pak Jit. Rupanya Jepang sudah mengetahui bahwa 3 orang pemuda tersebut adalah aktivis pejuang. Suara-suara tembakan selama 5 hari berdentuman dan sangat riuh, sehingga penduduk selama itu tidak ada yang berani keluar rumah. Setelah 5 hari lewat (pertempuran itu terkenal dengan Pertempuran 5 Hari di Semarang), sudah tidak lagi terdengar suara-suara tembakan, dan memang Jepang sudah dilucuti oleh tentara Sekutu.

Seluruh keluarga kembali dicemaskan akan keberadaan Pak Jit yang sejak dibawa Jepang tidak ada beritanya. Penduduk kota Semarang mulai memberanikan diri keluar rumah, termasuk Eyang Rekso yang terdorong ingin mencari Pak Jit, dengan menelusuri jalan-jalan, kali-kali, selokan-selokan, dan lapangan-lapangan dimana banyak terdapat mayat-mayat pemuda bergelimpangan yang dibantai Jepang. Eyang Rekso mengalami kesulitan mengenali jenazah-jenazah para pejuang, yang dimungkinkan diantaranya adalah Pak Jit, karena sudah membusuk sehingga berbau yang menyengat dan bertumpukan. Eyang Rekso meminta bantuan Eyang Dwidjo (Pak Soedjalil Dwidjopranoto) yang bertugas di CBZ, untuk ikut mencari dan meneliti jenazah-jenazah tersebut. Namun belum juga berhasil.

Dua hari kemudian pimpinan CBZ memerintahkan karyawannya untuk mengumpulkan jenazah-jenazah korban keganasan Jepang di seluruh kota Semarang. Eyang Dwidjo yang karyawan CBZ, mencurigai salah satu jenazah, apakah jenazah itu adalah adik iparnya. Untuk meyakinkan, maka diambilnya ikat pinggang jenazah itu dan kemudian menunjukkannya kepada Eyang Rekso, yaitu ikat pinggang padvinder/padvinderriem (Pramuka pada waktu itu). Ikat pinggang itu juga dikenali Eyang Rekso sebagai milik Pak Jit yang anggota padvinder/pramuka.

Sudah dapat dipastikan bahwa pemakai ikat pinggang itu adalah Pak Jit. Kesedihan meliputi seluruh keluarga Wonosari no.4 Semarang. Jenazah kemudian segera diambil dan dibersihkan, dan kemudian segera saja dimakamkan di makam keluarga Padmoredjan yang tidak jauh dari kediaman, yaitu di bukit Bergota. Suasana duka masih meliputi keluarga, Eyang Putri, Bulik Jo kakak Pak Jit, Pak Siem adik Pak Jit, serta kakak yang lain, sampai beberapa lama.

Beberapa tahun berselang setelah pemerintahan RI mantap, Pengurus Perintis Kemerdekaan dan Angkatan 45 di Semarang mengeluarkan pernyataan dengan Surat Keputusan, bahwa Pak Jit adalah pahlawan dan diangkat dengan Pangkat Sersan BKR. Ketika mereka meminta agar makam Pak Jit dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang, beberapa sesepuh keluarga keberatan. Maka satu-satunya salib yang ada di makam keluarga dengan tanda merah-putih dan dihiasi topi baja militer warna putih perak, adalah makam Sersan BKR GESANG HERCULES SOEJITNO, lahir 24 Mei 1927, gugur 14 Oktober 1945, terletak di bukit Bergota Semarang (entah kemana, topi baja itu telah hilang, dan seharusnya kini dihiasi bambu runcing dengan bendera merah-putih berbentuk miniatur).

Untuk mengenang para pahlawan yang gugur pada pertempuran 5 hari di kota Semarang, maka simpang lima bekas Wilhelminaplein itu, pada tahun 1950-an dibangun sebuah tugu peringatan bernama Tugu Muda yang berdiri megah hingga kini. Pada sirip-siripnya yang berjumlah lima buah, diukir dengan ukiran yang menggambarkan pemuda Semarang dengan gagahnya bertempur melawan Jepang. Konon Tugu Muda ini diresmikan oleh presiden RI pertama, Bung Karno.



Setiap tanggal 17 Agustus kita memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, kita patut mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwanya untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah direbut penjajah. Patut kita banggakan karena diantara mereka terdapat Laskar Kristen yang juga diantaranya anggota Trah Kosoredjo, Pak Jit

Sumber : Catatan Eyang Reksosoewito (Alm.) dan Catatan Bpk. Z. Soenjoto

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan sopan, singkat, padat, dan jelas.

 
http://www.emocutez.com